Rabu, 29 Desember 2010

DATING (4th day)

Hari ini sedikit memberikan harapan padaku.
Aku lupa apa pagi ini ada sapaan pagi atau tidak. Benar – benar lupa karena pagi ini sedikit acak kadut. Terbius oleh mimpi sampai tanpa sadar sudah pukul 8 pagi.
Langkah lebih ringan dari biasanya, bukan karena gajian atau THR. Sama sekali bukan. Hmmm...what do you think, world?  Yeah, aku memiliki harapan di hari keempat ini, ups ketiga? Hari keberapa tepatnya? Hahaha please tell me cause I forget it.  
Dia hanya ke bank lalu ke kantorku mengambil kunci VVIP Room (See? I called VVIP Room again). Masih ingat bagaimana aku hanya sedikit malu – malu menegurnya dan bercanda dengannya. Yah, seperti kami baru saling mengenal.
Rasanya di kantor pun tenang. Dia berada di VVIP Room dan aku di kantor. Sungguh, aku sangat tenang dan merasa tidak sebaik ini selama beberapa bulan ini. Tidak terasa jam kantor habis dan tidak sabar untuk menghambur keluar dan menemukan ekspresinya yang aku belum bisa bayangkan. He ask me to dating with him again. Amazing.
Memasuki VVIP Room dan bersiap – siap berangkat rasanya seperti mengulang waktu – waktu dulu. Uhm...hendak bertempur bersamanya (But don’t call me with Komandan or Ndan again. I Hate it now. The fact it’s not special for me. There’s another woman who have this ‘name’).  Ada sedikit halangan. Macet. Pfiiiuhhh, dan kenapa dia selalu memilih jalan ini? Sewaktu hendak ke Jatinegara untuk mencicipi Sate Keroncong dia pun memilih jalan ini, kami kehujanan dan acara batal. Kali ini, tempat tujuan Setiabudi pun harus batal karena macet. Metropole jangan berharap kami akan singgah, dia mau menunjukkan jiwa nasionalisnya dengan menonton piala AFF.
Bagusnya, aku sama sekali tidak marah / ngambek / sejenisnya. Hanya saja sedikit jengah ya, setelah beberapa menit bermain, dia mulai bosan dengan permainan.
Permintaanku ke PHD malamnya dipenuhi, tapi di situlah aku kembali merasa ...uhm...sejenis...’owh jadi gitu? I see’. Ya ungkapan semacam itu. Besok ternyata dia libur lagi, hal yang sudah aku duga pula, walaupun sebelumnya dia mengatakan hanya libur satu hari. Dan acara tahun baru dengan teman – temannya tidak ada juntrungannya. Hmm..what happen? Apa aku tidak pantas untuk curiga?
Dia terlihat enggan membicarakan itu lagi. Aku juga sedikit kaget dengan alasannya takut menyimpan software ini itu di laptopnya karena takut audit. Lha? Yang dulu – dulu kenapa? Teman – temannya apa melakukan hal yang sama? Isi flashdisknya pun sudah berganti rupa. Ah, dia selalu melihatku dari ekor matanya. Aku tidak akan melihat – lihat lagi isinya. Hal yang terburuk sudah aku lihat. Hmmm..kecuali ada hal yang lebih buruk lagi di dalamnya.  Aku enggan menyentuh isi tasnya, dompetnya, HPnya, laptopnya (karena memang tidak diijinkan untuk menyala), dan flashdisknya. Sungguh, sebenarnya dia mempunyai banyak bunker baru yang tidak mungkin terjamah olehku. What’s going on?
Foto – foto wanita busuk itu pun sudah berganti tempat, entah sudah berpindah kepada tangan yang tepat, entah di salah satu bunker barunya, hal yang pasti aku yakini, tidak mungkin masuk trash dan di delete forever. Uhm...sungguh aku ingin menyangkal keyakinan yang satu ini.
Besok di hari liburnya, aku berharap dia melakukan hal yang sama seperti hari ini. Akan tetapi tidak. Dia akan datang tetapi tidak tahu jam berapa. Ah, aku pun melihat kebimbangan sewaktu aku meminta acara nonton hari ini diganti besok. Alasannya hanya ingin di rumah karena orang –orang tahu kalau dia libur. Mari kita buktikan, karena ini memang waktu pembuktian. Aku pun tidak akan terlalu curiga padanya. Bukankah setiap orang bisa berubah dan mempunyai kesempatan kedua? Itulah yang sedang aku lakukan. Aku memberinya kepercayaan dan bukan berarti melepaskannya begitu saja. Aku tetap mempunyai mata dan naluri.
Boys, I hope you can make me believe in you again. Don’t make me dissapointed because It’s the last power that I have for us.

Selasa, 28 Desember 2010

NO TITLE (3rd day)


Ok world, what we get on third day?
Ini bukan masalah siapa duluan yang akan menghubungi yang lain. Aku tidak gengsi. Sungguh perasaan itu tidak ada. Aku hanya tidak bisa merasakan dimana aku berada.
“Pagi Cezz”
Sapaan yang sama dan aku tidak tahu kemonotonan ini akan sampai kapan.
“Pagi”
Sekali lagi, ini bukan gengsi atau sebangsanya. Ini hanya masalah kemampuan dan tenaga. Kali ini ada yang berbeda. Morning call disuguhkan. Yup.
Chat hari ini pun awalnya berjalan dengan lancar. Beberapa kerjaannya sepertinya datang. Oke, mungkin aku yang tidak mengerti kondisi atau jalan pikirannya. Anggaplah seperti itu. Jadi tidak fair baginya kalau aku masih saja berpikir, kenapa dia harus cepat – cepat menyelesaikan pekerjaannya? Bukankah dia tidak dikejar jadwal kuliah? Dan jika aku memberikan pertanyaan berikut ini, dia akan meledak lagi; Kenapa masih saja ada jadwal ‘mengerjakan tugas’? Bukannya besok rencananya dia tinggal menyalin di kosku? Bukannya dia tinggal mengambil tugas itu lalu fotocopy, pulang.
Kalian tahu? Aku tidak akan melontarkan semua pertanyaan hanya akan mengakibatkan situasi konyol. Tidak ! Saat ini aku harus fokus dengan kondisi fisikku yang aku rasa menurun.
Fine.
Dia kehujanan dan berteduh di sekitar Hotel Haris. Aku ulangi sekali lagi, dia sedang berteduh. Enough. Satu jam lebih. Entah kenapa ya, aku selalu tidak tenang jika dia lama membalas SMSku. Dan dia selalu seperti ini (mungkin ini hal kecil baginya yang tidak penting) melanjutkan perjalanan tanpa memberi kabar. Atau seperti tadi, berteduh tanpa memberi kabar juga. Dulu, dia bisa menceritakan hal detil seperti ini. Kamusku membeberkan sebuah opini, dulu dia bisa karena hanya ada aku yang ada dalam pikirannya, sekarang tidak. Oke, aku harus ikhlas bersanding dengan pekerjaan, kuliah, keluarga dan teman – temannya (God, give me another world except him).
Sudah satu jam setelah dia sampai di rumah temannya. Katanya dia hanya akan mengambil tugas dan pulang. But, until now after a hours, tidak ada kabar apapun. Tidak ada yang menyuruhku menunggu. Apa juga yang perlu ditunggu?
21:36
Boy, jangan menguji kesabaranku. Ini hanya mampir mengambil softcopy dan foto copy. Selama inikah? More than one hours? Lantas, bagaimana jika mengerjakan tugas? Juga selama ini? Apa kamu akan memberikan kabar pada pukul 22.05 lagi? Damn, I’ll be stupid.
21.50
My Boy you make me crazy. Udah pulang dari tadi tapi HP mati. Can you make me safety? Aku juga bisa stres kalau terus kaya begini. Aku hampir saja menjadi penjahat teknologi kalau dalam waktu setengah jam kamu tidak memberikan kabar. Pffffiuuuhhh, rupanya aku harus lebih sabar lagi jika tidak aku bisa membuat kesalahan besar. God, forgive me.

Senin, 27 Desember 2010

HE IS SUMMER (1st day)

Kesepakatan kami untuk memulai semua dari awal. Ini adalah titik nol. Masih ada waktu beberapa saat, aku sendiri tidak meminta kepastian berapa lama waktu yang kami butuhkan untuk berjuang. Mungkin seminggu, mungkin sampai akhir tahun ini, atau mungkin kami kembali mengulur – ngulur waktu (lagi).
Aku berusaha memulai ini dengan sebuah sapaan pagi, berharap ketika dia bangun dan membacanya, lalu mengingatku. Give a little smile, Belly Bear. Sayang sekali aku tidak dapat melihat reaksinya. Hanya sebuah reply singkat : Pagi Cezz. Aku tidak membalasnya, lebih baik melanjutkan tidur. Pukul 7 lebih, akhirnya ada message kedua. Yah, jawaban dari dugaan – dugaanku dia akan berangkat jam berapa. Cukup siang untuk rutinitas biasanya. But, whatever, aku mulai belajar untuk tidak mempedulikan hal itu.
Dan persis seperti skenario yang aku bayangkan tadi malam, tidak akan ada telepon hari ini. Chat – chat yang saling ditembakkan menurutku biasa. Tidak ada yang bisa dibilang ‘menarik’, bahkan mungkin ada satu kali kami kembali memanas, tepatnya dia. Ya, dia emosi. Aku tidak ingin membahas penyebabnya. Anggap saja itu salahku. That’s all. Berusaha melunakkannya lagi dan menyingkirkan egoku. Menghalau semua prasangka. Menghibur setiap kesakitan yang muncul kembali jika mengingat beberapa hal yang lalu.  Menguatkan hati untuk memberikan apa yang dia minta.
Oh God, aku tidak percaya seharian browsing tentang Blackberry dan mengesampingkan pekerjaanku. Kalian juga pasti tidak percaya ini. Aku mencari apa yang dia cari. Selanjutnya, aku menyampaikan info yang aku dapat kepadanya. I can’t believe it. Aku sendiri sama sekali tidak percaya aku melakukannya. God, I must be crazy. What happen with me?
Menyakitkan sebenarnya untuk mengalah seperti ini. Bagaimana tidak? Dia, orang yang aku anggap ada di pihakku dan satu kubu denganku, tapi ternyata bukan. Dia sama seperti mereka di luar sana. Menghambakan diri pada kesibukkan. Choky Sitohang, tolong katakan kepada mereka, hard worker di luar sana, tentang prinsip yang pernah kau tulis di microbloggingmu: Anda yang harus mengendalikan kesibukan, bukan kesibukan yang mengendalikan Anda.  Sampai saat ini aku tidak mengerti istimewanya BB di mata mereka. Dan mengenaskan melihat dia dan jutaan orang lainnya begitu bangga dengan barang itu di tangan mereka. Oh, come on, jangan katakan aku orang yang tidak normal dan aneh.
Ada satu kenyataan lagi, (dan ini mungkin yang menjadi alasan pertengkaran tadi), dia sudah mengatur jadwal untuk satu minggu ini. Berapa lama waktu yang akan dihabiskan bersamaku dan berapa lama yang akan dihabiskan untuk tugas (aku menyebutnya ‘teman-temannya’). Sebenarnya, aku masih ingat jelas, he said he will give me surprise, makanya dia tidak menceritakan kalau satu minggu ini dia libur kuliah (Oh come on boy, aku sudah tahu, ada teknologi yang bernama telepon dan sangat mudah mencari info ke kampus).  Kalian tahu, yang aku yakini saat dia mengatakan itu adalah....(uhm...aku merasa jika ada seseorang yang membaca ini akan membakar emosinya kembali, semoga saja dia melupakan blog ini) dia akan membagi waktu untuk berkumpul dengan teman – temannya dengan alasan apapun (I’m not sure what his reason), mungkin itu tu-gas. Seandainya kalian merasakan akibat dari semua perasaan ini, ukh, kenapa feeling – feeling ini terus berlarian dan mendekati kebenaran. Satu yang membuat sakit, pada saat aku hendak mengatakan itu, dia salah paham dan justru marah – marah, aku yang selalu menuduh, berpikiran buruk dan atribut – atribut yang dikenakannya padaku (kalian masih hapal semua itu kan?).
Aku lega, dia memberi kabar ketika sudah sampai (walaupun aku tidak tahu kapan dia keluar dari kantor). Aku juga semakin lega karena dia beberapa kali sms aku. Rasanya mengurangi sakit di badanku (enyahkan keringnya kerongkonganku dan linu – linu tulangku secepatnya please). Waktu beranjak semakin malam, aku berharap dia mengingat pesanku tadi : jangan pulang terlalu malam ya. Silakan menertawakanku, tapi aku sungguh – sungguh mengatakan ini karena care sama dia. Persetan dengan kalian yang berpikir itu hanya trik lain dari pengekangan (kalian tidak pernah merasakan bagaimana beratnya menjadi seperti ini). Fakta berkata lain. Ketika jarum –jarum jam mengindikasikan waktu yang mendekati pukul 9 aku komat kamit berharap dia segera pulang. Ah, come on boy, don’t destroyed my faith. Dadaku rasanya basah kuyup ketika melihat jam, sudah pukul 21.30. Aku menjaga mataku agar tetap kering dan mendamaikan diri sendiri. Ah, jika kalian yang bisa membaca pikiranku pasti sudah menutup telinga rapat – rapat mendengar teriakanku yang tidak terucapkan. Satu hikmah dari ini adalah menahan teriakan itu sakit lho, aku sudah membuktikannya berkali – kali, so, don’t try this at anywhere.
Aku sms berkali – kali. No respon. Ah, boy where are you?
Pukul 22.05 dia baru memberi kabar. He just arrived at home. Do you know what time is it, boy? You give me reason to write this. My pillow, stay there please, I’ll be back to you at the moment.
Aku tidak mau berpikir lagi. Film 500 days of Summer sudah cukup memberikan pelajaran yang berarti bagaimana bersikap dalam sebuah hubungan. Ya, mungkin bukan orang seperti aku yang dia cari. Dia sama halnya Summer, dan aku sebagai Tom. Apakah nantinya aku akan terlihat bodoh seperti Tom, mengiyakan saja hubungan yang tidak jelas ini hanya dengan alasan kami bisa menikmati dan bisa bahagia. The Architectur of Happiness mungkin tidak akan pernah aku tulis. Walaupun aku seperti Tom yang terobsesi untuk menjadi seorang arsitek, aku mungkin tidak akan pernah berani mencoba. Dan aku mungkin tidak akan pernah dicarinya di tempat favoritku (aku tidak yakin dia tahu dimana tempat favoritku).
Aku belajar untuk menerima bahwa there’s no miracle, tidak ada juga nasib, ini hanya proses. Seorang teman berkata : “Ayo kamu harus bangkit, dia hanya orang yang hadir dalam kehidupan kita. Kamu berat karena ini yang pertama kali buatmu. Jika kamu menemukan orang lain lagi kamu akan melupakannya. Semua ini proses, dan kamu harus belajar dari ini semua. Kalau kamu menganggap dia yang terakhir, maka artinya kamu harus lebih banyak belajar mengenai sebuah hubungan. “
Kalian, aku akan mengatakan tentang sebuah kejujuran : aku, sampai saat ini, masih tidak sepaham dengan paragraf di atas.

Minggu, 26 Desember 2010

On Christmas


It’s about a man who always beside me, one year with him.
Laki – laki ini pada awalnya sama sekali tidak menarik. Hanya seorang teman masa SMP, yang aku kenal 2 caturwulan (kurang lebih 8 bulan). Hmmm....bukan, bukan kenal tapi hanya tahu, karena dalam ingatanku aku tidak pernah berbincang apapun, mengenai apapun, dalam bentuk apapun dengannya. Sekali kami pernah keluar bareng (it’s not a date), bersama dengan beberapa teman yang lain. Dia datang ke rumahku bersama seorang teman di hari yang boleh dibilang pagi, waktu itu menunjukkan identitasnya sebagai jam 5 pagi. Tentu saja aku belum mandi dengan bau ketek dan bau jigong dimana – mana. Mereka dengan innocentnya menunggu aku mandi. Aku tidak bisa mengingat dengan detil kejadian sesudahnya. Aku hanya ingat kami bersepeda bersama – sama. Hal yang tidak bisa aku lupakan karena waktu itu dia dijodoh – jodohin dengan sahabatku (Dew, I’m so sorry, He’s my mine now). Satu momment ini saja yang masih tersisa ketika aku mengais – ngais informasi tentangnya di masa lalu kami.
On July, Facebook is my hero.
Aku dikenal di kantor sebagai orang yang paling autis dengan komputerku. Update status menjadi makanan sehari – hari. Kantor dalam kondisi di ujung tanduk pun aku tidak bergeming. Just focus to the screen (Please forgive me my boss and friends). Aku menemukannya. Setelah beberapa waktu yang lampau aku mencoba mencari tetapi tidak menemukan. Lucunya, dua minggu sebelum aku add dia, dia juga sempat mencoba mencariku. Tidak ada kebetulan di dunia ini. Oh God, I belive it.
Dia seperti seorang sahabat di masa kecil. Begitu cepatnya kami akrab dan mengenal satu sama lain, melebihi sahabat – sahabatku yang lain. Satu yang menjadi ganjalanku setelah beberapa hari ngobrol dengannya via dunia yang lain, yang termasuk dalam species ‘teknologi’, he was not single. There was a woman (I don’t want to called her with a girl), and I don’t know why, I felt there was something wrong with them.
Day after day, we was so close. I think it wasn’t just a friend. Aku tidak berharap dia tinggal waktu itu, hanya saja rasanya sayang sekali jika semua petualangan kami harus berakhir di dalam sebuah pilihan. Over PD ku yang membuat aku merasa dia akan lebih bahagia jika dia ada di sampingku. Aku berlagak seperti pahlawan kesiangan, ketololanku yang aku akui sekarang. Aku hendak menyelamatkan dia dari hubungan yang sepertinya menyiksanya. Sekali lagi ini adalah komplikasi dari over PD, sok pahlawan dan sok tahuku. Aku peringatkan ketiganya adalah penyakit yang sangat berbahaya dan bisa membunuh diri sendiri.
Akhir Oktober itu menjadi bulan yang masih saja aku ingat. Kesalahan besar terjadi di sana. Bagaimana dia akhirnya memilih meninggalkan wanita itu setelah tiga hari kami tidak ada komunikasi. Yup, 31 Oktober, setelah wajahku basah melewati ritual di hari keramat, dia mengirimkan message. Singkat. Dia selalu singkat jika mengirimkan message, sesuai istilahnya Short Message Service. ‘Udah tidur?’. Satu pertanyaan yang aku tahu akan mengawali sebuah cerita panjang. Aha !!! Dia kembali. Sebuah penghiburan yang cukup berarti bagiku setelah melewati ‘Hari Sedih’.
Awal November menjadi garis start petualangan – petualangan kami yang semakin menjadi. Aku tidak melihat kesedihan di matanya seperti halnya orang yang baru saja putus. Ah, aku juga tidak pernah merasakan rasa sakit seperti itu, jadi aku menganggapnya hal yang biasa. Yah, satu ketololan dan sok tahuku lagi. Heiiii...Tidak ada yang bisa melukaiku. Aku adalah orang yang berhati besi dan tak tersentuh. Begitulah aku menjaga diriku, agar tidak pernah disakiti.
Ten days later, we was a perfect couple. Aih, rasanya ingin aku pigura bagaimana reaksi dunia melihat kekompakkan kami. Dunia iri, terkadang cemburu, dan takjub melihat kami. Hmmm, kalau kalian mengerti kondisi saat itu, seperti...ummm...berjalan di atas catwalk. Ya...we was a great cou-ple. Do you understand? C-O-U-P-L-E. Blitz menghujani kami dan rahang sepertinya kram karena terus saja melempar tawa kepada setiap mata. Konyol sekali, aku melihat mereka melongoh seperti sapi ompong yang tercebur ke dalam comberan.
Wanita busuk (sorry Madam, I call you like that) terus saja merongrong kebersamaan kami. Ukhhhh...aku tidak tahan untuk melemparnya ke container yang berisi seribu ikan asin. Dia sempat berhasil memecah kami. After one month, seven days, we was ....Aku tidak bisa mengatakannya. Terlalu miris kata – kata itu. Ini adalah salah satu ketololanku lagi, menyerah di waktu yang tidak tepat. Belum saatnya aku menyerah. Kalian tahu? Belum pernah ada sebelumnya, laki – laki yang begitu sungguh – sungguh denganku. Lelaki ini terlihat tidak seperti cobra, buaya atau hewan pemangsa lainnya. Dia adalah manusia sesungguhnya yang bermantel ketulusan. Sungguh pengorbanannya waktu itu menjadi kekuatanku untuk mempertahankannya di medan tempur. (Thank You TMII, nice place). Aku diperlakukannya seperti sebuah guci yang tidak boleh jatuh. Menjaga dan membuat aman. Semakin hari aku merasakannya seperti seseorang yang sangat aku kenal selama 9 tahun. Dad, he was like you.
Dia berhasil menjadikanku sebagai seorang putri dari kerajaan yang megah.
Let’s imagine...
Setiap hari dia selalu membangunkan dan meniupkan nafas yang lebih segar dari udara pagi. Memberikan keyakinan bahwa hari ini aku bisa melalui hari dengan baik. Andai kalian melihat bagaimana caraku menyapa senin, selasa, rabu, kamis, jumat, sabtu dan minggu waktu itu. Aku merasakan seluruh inner beautyku (yang sebelumnya aku percaya bahwa aku tidak pernah memilikinya) bisa keluar. Orang – orang di sekelilingku yang bisa melihatnya. Dia memberikanku mahkota kebahagiaan. I was trully Princess.
Aku menyukai bagaimana caranya menggandeng tanganku, melingkarkan tangannya di pinggangku, mencuri sebagian makananku, berdebat mengenai cerita masa kami sekolah, saling mengolok – olok mengenai kekurangan kami, saling menceritakan kejadian – kejadian yang memalukan, mengusap – usap rambutku, menjaga ketika aku tidur, menyuapiku....ahh banyak. Aku juga menyukai setiap kali dia kentut di meja makan karena itulah dia. Aku menyukai saat – saat dia terlihat rapuh dan membutuhkanku. Aku menyukai saat – saat dia kangen dan aku tidak mempercayainya bahkan di saat dia kangen setengah hidup. Hahahaha..itu adalah salah satu momen yang menggelikan. Aku menyukai surprise – surprise yang dia berikan. Walaupun dalam bentuk kehadirannya yang tiba – tiba atau telepon di waktu yang tidak terduga. Kado – kado kecilnya. Dan, ada satu hal lagi, hahaha rasanya sakit perutku menahan ketawa. Dia bukan tipe laki – laki pencemburu, tapi ada satu yang bisa membuatnya komat kamit membaca mantera sumpah serapah setiap kali aku menggoda dengan satu nama. Tepatnya seminggu setelah proklamasi hubungan kami, aku bertemu dengan seorang teman, pada saat dia sedang outing. Aih...reaksinya...kalian tahu? Dia membuatku merasa berharga di hatinya. Menelepon tanpa henti. SMS dan marah – marah. Aku malah menanggapinya dengan geli. Dia lucu sekali. Kadang aku ingin sekali membuatnya sedikit ketakutan, tapi saat ini aku tidak tega. Sungguh tidak tega.
Waktunya untukku sangat banyak, bahkan jika dia hanya mempunyai waktu 5 detik dalam hidupnya, maka aku berani bertaruh dia akan memberikan 3 detik bahkan lebih untukku. Sepanjang hari aku melenggang dengan sepatu kaca dan menggandeng bahunya. Romeo and Juliet hanya sebuah cerita klasik yang sangat mungkin kami gusur keberadaannya di dalam rak buku. Amazing bukan? Dia bukan batman, dia hanya lelaki biasa yang menjadi luar biasa ketika berjuang mendapatkanku. Dia hanya seorang lelaki yang menjadi pahlawan dalam membantuku menghadapi hidup. Dia lelaki yang sederhana, bahkan sangat sederhana, tetapi jauh dalam hati membuatku takjub dan hampir tidak percaya bahwa dia sangat bersahaja (If you know who are you). Aku tidak pernah memujinya, tapi kali ini biarkan aku jujur mengakui, dia luar biasa bagiku (Thank’s God). Aku bersyukur dengan keadaannya sekarang, tetapi aku lebih bersyukur dengan keadaannya waktu itu. Yup, aku menyukai dia karena dia adalah laki – laki biasa. Bukan karena dia seorang leader seperti saat ini, bukan karena gajinya yang sekarang hampir menyamai gajiku, bukan karena dia sering beredar ke sana kemari. Aku menyukainya karena dia biasa. Sangat biasa. Aku bersyukur karena waktu itu dia hanya orang biasa.
Kalian tahu betapa beruntungnya aku, dia bahkan lebih memilih di kamar menemaniku lewat telepon daripada nonton TV atau berjalan – jalan bersama keluarganya. Dia lebih memilih meneleponku daripada berbaur dengan teman – temannya sewaktu outing. Dan aku kadang tertawa geli mendengar mantera – manteranya karena harus hadir di acara ini itu, mengurangi waktu kebersamaan kami. Kalian pasti tidak percaya saat itu aku bahkan meneguhkannya untuk menikmati itu semua. Aku bersyukur karena waktu itu aku mengenalnya sebagai anak rumahan yang sangat dipantau oleh keluarganya.
On my birthday,  dia juga memberikan surprise yang menakjubkan (Thank you so much for the surprise). Usia 23 yang penuh keajaiban bagiku karena merasa memilikinya. Dan kekompakan kami juga terasa ketika berbagi makanan dengan orang di jalanan. Ah, God, give us another chance.
Senang juga melihat dia bisa membaur dengan keluargaku. Aku masih ingat dia pernah mengatakan satu hal  : ”Aku ga nyangka lho kamu sedekat itu sama adik – adikmu”. Aku senang dia bisa care juga sama keluargaku. Kalian tahu, bagaimana bangganya aku mengenalkannya pada ibu. Mom, I also have the one like you have my father. They was same.
Aku lupa kapan badai itu dimulai. Semua terjadi begitu cepat. Aku tidak tahu lagi apakah ini masih ada sangkut paut dengan masa lalunya atau tidak. Aku bahkan tidak mengerti bagaimana ini terjadi. Dia menjelma monster. Saat ini yang ada di sekelilingku hanya puing – puing kebersamaan kami yang sudah hancur. Caci maki kami temui dari masing – masing mulut kami. Tidak ada lagi yang namanya kebersamaan. Bagaimana kami bisa melewati setiap rintangan ? Kami tidak lagi satu melainkan dua. Kami semakin lemah dan mudah dihancurkan. Inilah kami sekarang. Seribu kali kami berusaha meyakinkan satu sama lain dengan kata sayang, tetapi pada kenyataannya kami seperti bermusuhan. Aku ingat film Mr & Mrs. Smith. Bagaimana mereka harus saling membunuh demi orang – orang di sekeliling mereka? Padahal di mata masing – masing mereka sadar sayang itu masih ada. Lebih baik bertempur melawan musuh daripada bertempur melawan diri sendiri dan orang yang kita sayangi.
Aku tidak lagi merasakan aman ketika ada di samping dia. Aku sendiri ragu apa sayang itu masih ada. Aku juga tidak bisa merasakan angin di Dreamland. Apa yang aku sukai menjadi memuakkan baginya dan apa yang dia sukai menjadi memuakkan bagiku. Bagaimana aku bisa menjalin hubungan dengan orang seperti ini? Dia orang asing. Aku tidak mengenalnya. Bagaimana kami bisa bersama selama ini? Aku pikir kami ini satu pikiran, satu jalan, satu selera. Aku tidak menyangka kami jauh berbeda. Lalu siapa yang bersamaku selama ini? Siapa yang selalu mengatakan ‘iya’, ‘aku juga suka’.
In Loving Memory tidak lagi menjadi jimat. Tidak berfungsi sama sekali. Dulu, aku pernah mengatakan, jika salah satu hilang atau berbeda, yang lain harus menyadarkan sambil puterin lagu itu. Kami sangat yakin lagu ini mempunyai kekuatan untuk menyatukan kami lagi. Sekarang aku ragu. Aku tidak tahu lagi bagaimana caranya mencoba.
Aku membenci feeling – feelingku yang selalu dianggap sebagai negative thinking. Aku benci merasa kalah seperti ini. Sungguh aku membenci sabotase oleh pihak lain. Aku merasakan ada pihak – pihak yang membenciku dan mencuci otaknya. Dia bukan dia. Dia hanya alat yang dimainkan oleh pihak itu. Ini yang aku yakini. Oleh karenanya, aku tidak pernah benar – benar pergi meninggalkannya, tidak pernah bisa. Aku yakin ini bukan dia. Aku yakin ini hanya sementara. Kami harus menemukan satu sama lain secepatnya, sebelum kami ditelan takdir yang lebih ganas.
Seandainya aku boleh meminta, di hari Natal ini. Mr. Santa, berikan dia yang dulu sebagai kado untuk Natal tahun ini. Aku yakin kami bisa mengubah dunia dengan kebersamaan kami. Please...give me him, tanpa ilalang di sekelilingnya yang kini tumbuh sangat lebat dan membatasi jarak pandangku.
Belly Bear, do you still remember about us?